Minggu, 05 Juli 2015

PERMEABILITAS MEMBRAN SEL



PERMEABILITAS MEMBRAN SEL
Permeabilitas  adalah suatu ukuran senyawa untuk melintasi/ menembus membran. Permeabilitas membran menentukan materi apa yang dapat masuk atau keluar sel.
Permeabilitas dipengaruhi oleh:
1.      Ukuran Pori
2.      Jumlah
3.      Tekanan/Konsentrasi diluar sel, konsentrasi diluar rendah sehingga dapat  berdifusi.
Membran sel merupakan lapisan yang mengontrol keluar-masuknya zat antara lingkungan luar dan lingkuangan dalam sel. Memban sel memiliki permeabilitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: ukuran solut, kelarutan lemak, derajat ionisasi, pH, dan temperatur. Ukuran solut yang cenderung semakin besar, serta derajat ionisasi yang semakin tinggi menyebabkan kemampuan permeabilitas membran cenderung menurun, sedangkan pengaruh temperature dan pH yang tinggi membuat membran sel menjadi lebih mudah mengalami denaturasi.
Struktur Membran Plasma



Lipid Membran
Komposisi: Fosfolipid, Kolestrol, Glikolipid
Bersifat Ampifilik artinya, tiap molekul memiliki kutup yang sifatnya berbeda yaitu Hidrofobik dan Hidrofilik.
Membran-àLipit Bilayer
Senyawa membran:
1.      Memiliki derajat ionisasi yang lemah/Elektrolit lemah.
2.      Uuran partikel kecil
3.      Memiiki kelarutan yang sesuai.
Jika zat aktif yang berada dilambung bersifat asam lemah, maka yang akan terjadi adalah nilai ionisasinya rendah dan menyebabkan permeabilitas yang baik dan bagus, Sedangkan apabila suatu zat aktif berada di diusus dan bersifat asam lemah, maka yang akan terjadi adalah nilai ionisasinya tinggi dan menyebabkan permeabilitas tidak baik.
Log P atau Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi permeabilitas dan kelarutan, Jika Log P nya 0-3 maka permeabilitasnya baik pada senyawa yang bersifat hidrofilik dan lipofilik, Jika semakin negatif nilai Log P nya maka permeabilitasnya lebih cenderung ke sifat hidrofilik, dan apabila nilai Log P nya semakin positif maka, permeabilitas lebih cenderung ke lipofilik.



Sistem BCS (Biopharmaceutical Classification System)
                 Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System) 
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat  untuk pemberian obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi.
Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna.

                  Tujuan dan Konsep BCS
Tujuan dari BCS adalah :
1.     Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi.
2.     Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat  dari  bentuk sediaan padat oral yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.
3.     Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat.




                 Klasifikasi BCS

BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah :     
1.              Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi)
Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk.
2.     Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)
Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah  dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II.
Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu, korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati.
3.     Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)
Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka  kriteria kelas I dapat diterapkan .
4.     Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)
Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini  memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan.

Kelas yang Digunakan dalam BCS
Batas kelas yang digunakan dalam BCS diantaranya adalah :
1.     Suatu obat dianggap sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi yang larut dalam ≤ 250 ml air pada rentang pH 1 sampai 7,5.
2.     Suatu obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia ≥ 90% dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena.
3.     Suatu produk obat dianggap cepat melarut ketika ≥ 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit menggunakan alat disolusi I atau II dalam volume ≤ 900 ml larutan buffer.

      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biopharmaceutical Classification System (BCS)

Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah :
1.     Laju disolusi
Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm) dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8 atau cairan usus buatan tanpa enzim.
2.     Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan suatu obat  dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus ditentukan pada 37 ± 1oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada  di kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer.
3.     Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran usus manusia.
Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena
Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut (terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam banyak kasus, kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi. Hal Ini benar/berlaku untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, maka kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol keseluruhan bioavailabilitas obat dari suatu sediaan.
Berdasarkan biopharmaceutics classification system (BCS), maka kelarutan dan permeabilitas suatu obat/new chemical entity (NCE) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas
Kelas I
Kelarutan tinggi – permeabilitas tinggi
Kelas II
Kelarutan rendah – permeabilitas tinggi
Kelas III
Kelarutan tinggi – permeabilitas rendah
Kelas IV
Kelarutan rendah – permeabilitas rendah

Sekarang ini 40% obat/ new chemical entity (NCE) masuk dalam katagori kelas II dan kelas IV. Obat-obat yang mempunyai kelarutan tinggi (mudah larut) maka rate-limiting step bukan pada kecepatan disolusi (seperti pada kelas I dan III). Pada kasus kelas II yaitu obat yang mempunyai kelarutan rendah-permabilitas tinggi maka kecepatan absorbsi obat tersebut ditentukan/dibatasi oleh tahapan kecepatan disolusi obat tersebut dalam cairan ditempat obat diabsorpsi. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi formulator untuk dapat mencari cara/teknik yang tepat dalam rangka meningkatkan kelarutan senyawa obat tersebut. Dengan adanya peningkatan kecepatan disolusi/kelarutan, diharapkan bioavailabilitas obat tersebut juga meningkat.
Ada sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya:
1. Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)
2. Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)
3. Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)
4. Pembentukan komplek (Complexation)
5. Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)
6. Dispersi padat (Solid dispersions)
7. Pengeringan semprot (Spray dryng)

8. Hot-melt extrusion
Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas/shelf-life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya kelarutan yang diinginkankan

A. Kelarutan

Kelarutan suatu zat pada suhu tertentu didefinisikan sebagai konsentrasi zat terlarut (solut) yang larut dan berada dalam kesetimbangan dengan fase air. Kelarutan dihasilkan dari interaksi antara ion atau molekul zat terlarut (solut) dan pelarut (solvent). Interaksi antara solut dan solvent dalam peristiwa kelarutan melibatkan beberapa fungsi termodinamika seperti entalpi, energi bebas dan entropi. Menurut hukum termodinamika, larutan merupakan suatu proses termodinamika stabil (∆F = 0).
Pada suhu dan tekanan tertentu, kelarutan atau konsentrasi solut dalam larutan adalah konstan tetapi akan berubah dengan perubahan kondisi. Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan kimia zat terlarut dan pelarut, juga bergantung pada faktor temperatur, tekanan,pH larutan dan terbaginya zat terlarut. Istilah kelarutan suatu zat adalah suatu parameter yang menunjukkan 1 bagian bobot zat (solut) yang dapat larut dalam volume tertentu pelarut (solvent).
Istilah Kelarutan Bagian pelarut yang dibutuhkan untuk
1 bagian zat terlarut Istilah Kelarutan
Kurang dari 1 Sangat mudah larut 1-10, mudah larut 10-30, Larut 30-100, agak sukar larut 100-1000, sukar larut 1000-10000, sangat sukar larut Lebih dari 10000 praktis tidak larut.

SISTEM KLASIFIKASI BIOFARMASETIK
Sistem klasifikasi biofarmasetik diperkenalkan melalui sebuah metode untuk mengidentifikasi situasi yang mungkin mengikuti uji disolusi in vitro yang digunakan untuk memastikan bioekivalensi dalam ketidakhadiran studi bioekivalensi klinik secara nyata. Pada dasarnya pendekatan secara teori menyatakan, kelarutan dan permeabilitas intestinal diidentifikasi sebagai karakteristik pengobatan utama yang mengontrol absorpsi.

Teori ini mengklasifikasikan obat dalam empat kelompok secara garis besarnya sebagai berikut :
• Kasus 1 : Kelarutan tinggi --- permeabilitas tinggi
• Kasus 2 : Kelarutan rendah --- permeabilitas tinggi
• Kasus 3 : Kelarutan tinggi --- permeabilitas rendah
• Kasus 4 : Kelarutan rendah --- permeabilitas rendah

Tidak ada teori dasar untuk sistem klasifikasi biofarmasetik, pendekatan teori untuk model absorpsi dan disolusi dihadirkan dalam bab ini mempunyai batasan-batasan yang tidak bisa dipisahkan secara alami.yang menempatkan beberapa obat tertentu dalam salah satu kelompok Sistem Klasifikasi Biofarmasetik. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan keduanya mempunyai daerah kepekaan yang lebih sedikit dan lebih besar untuk disolusi yang mempertimbangkan apakah disolusi in vitro dapat digunakan sebagai perwakilan untuk uji bioekivalensi. Seperti yang ditunjukkan dalam pertimbangan teoritis untuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, daerah in vivo dimana disolusi dan absorpsi berlangsung mempunyai tingkat variabilitas yang tinggi. Di luar kemungkinan, batasan-batasan untuk kelompok Sistem Klasifikasi Biofarmasetik yang mungkin mempunyai kesalahan pada sisi konservasi berkaitan dengan ketidakpastian yang menyangkut perkiraan kelarutan dan permeabilitas dalam jalur Gastro Intestinal. Pertimbangan teori untuk Sistem Klasifikasi Biofarmasetik tidak secara jelas mengindikasi dimana batasan-batasan antara empat klasifikasi yang seharusnya. Penentuan Kelarutan Penentuan Kelarutan: -Menggunakan Profil pH-Kelarutan dari obat uji dalam media dengan pH antara 1-7,5 -Menggunakan Metode pengocokan dalam botol atau metode titrasi -Menggunakan Analisis dengan pengujian yang menunjukkan stabilitas yang sudah divalidasi Penentuan Permeabilitas Penentuan permeabilitas
A. Jumlah obat yang diabsorpsi dalam tubuh -Studi farmakokinetik -Studi bioavailibilitas absolu
B. Metode permeabilitas intestinal: -Penelitian perfusi intestinal pada manusia secara in vivo -Penelitian perfusi intestinal pada hewan coba secara in vivo atau in situ -Percobaan permeasi secara in vitro dengan jaringan usus manusia atau hewan -Percobaan permeasi melewati sel epitel monolayer secara in vitro

PERMEABILITAS MEMBRAN SEL
 Permeabilitas adalah suatu ukuran senyawa untuk melintasi/ menembus membran. Permeabilitas membran menentukan materi apa yang dapat masuk atau keluar sel. Permeabilitas dipengaruhi oleh:
1. Ukuran Pori
2. Jumlah
3. Tekanan/Konsentrasi diluar sel, konsentrasi diluar rendah sehingga dapat berdifusi.
Membran sel merupakan lapisan yang mengontrol keluar-masuknya zat antara lingkungan luar dan lingkuangan dalam sel. Memban sel memiliki permeabilitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: ukuran solut, kelarutan lemak, derajat ionisasi, pH, dan temperatur. Ukuran solut yang cenderung semakin besar, serta derajat ionisasi yang semakin tinggi menyebabkan kemampuan permeabilitas membran cenderung menurun, sedangkan pengaruh temperature dan pH yang tinggi membuat membran sel menjadi lebih mudah mengalami denaturasi. Struktur Membran Plasma Lipid Membran Komposisi: Fosfolipid, Kolestrol, Glikolipid Bersifat Ampifilik artinya, tiap molekul memiliki kutup yang sifatnya berbeda yaitu Hidrofobik dan Hidrofilik. Membran-Lipit Bilayer Senyawa membran:
1. Memiliki derajat ionisasi yang lemah/Elektrolit lemah.
2. Uuran partikel kecil
3. Memiiki kelarutan yang sesuai. Jika zat aktif yang berada dilambung bersifat asam lemah, maka yang akan terjadi adalah nilai ionisasinya rendah dan menyebabkan permeabilitas yang baik dan bagus, Sedangkan apabila suatu zat aktif berada di diusus dan bersifat asam lemah, maka yang akan terjadi adalah nilai ionisasinya tinggi dan menyebabkan permeabilitas tidak baik. Log P atau Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi permeabilitas dan kelarutan, Jika Log P nya 0-3 maka permeabilitasnya baik pada senyawa yang bersifat hidrofilik dan lipofilik, Jika semakin negatif nilai Log P nya maka permeabilitasnya lebih cenderung ke sifat hidrofilik, dan apabila nilai Log P nya semakin positif maka, permeabilitas lebih cenderung ke lipofilik.