Sistem BCS (Biopharmaceutical Classification System)
Definisi
BCS (Biopharmaceutical Classification
System)
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi
biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan
kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat secara oral. Untuk
melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus memenuhi
persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi.
Bioavaibilitas obat merupakan salah
satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan
farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat
dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal
obat dalam saluran cerna.
Tujuan dan Konsep BCS
Tujuan dari BCS adalah :
1. Untuk meningkatkan efisiensi
pengembangan obat dan proses peninjauan dengan merekomendasikan strategi untuk
mengidentifikasi uji bioekivalensi.
2. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan
cepat dari bentuk sediaan padat oral yang secara
bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.
3. Untuk
merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi
bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat.
Klasifikasi BCS
BCS (Biopharmaceutical
Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika
diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah :
1. Kelas
I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi)
Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil,
Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang
tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan
sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi
pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat
diharapkan jika setidaknya 85% dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian
disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi
in vivo tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk.
2. Kelas II (Permeabilitas tinggi,
Kelarutan rendah)
Misalnya Fenitoin,
Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki daya
serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in
vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat
untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka
waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat
kelas I dan kelas II.
Bioavailabilitas produk
ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu, korelasi antara
bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati.
3. Kelas III (Permeabilitas rendah,
Kelarutan tinggi)
Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B,
Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun
obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi
yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi
ini disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor
bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu
durasi pencernaan, maka kriteria kelas I
dapat diterapkan .
4.
Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)
Misalnya taxol,
hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini
memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap
dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi
tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di
mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan.
Kelas yang Digunakan
dalam BCS
Batas kelas yang
digunakan dalam BCS diantaranya adalah :
1. Suatu obat dianggap sangat larut ketika
kekuatan dosis tertinggi yang larut dalam ≤ 250 ml air pada rentang pH 1 sampai
7,5.
2. Suatu obat dianggap sangat permeabel
ketika tingkat penyerapan pada manusia ≥ 90% dari dosis yang diberikan,
berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding
intravena.
3. Suatu produk obat
dianggap cepat melarut ketika ≥ 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam
waktu 30 menit menggunakan alat disolusi I atau II dalam volume ≤ 900 ml
larutan buffer.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biopharmaceutical Classification
System (BCS)
Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya
adalah :
1. Laju disolusi
Dalam
pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari
85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US
Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50
rpm) dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau
cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8
atau cairan usus buatan tanpa enzim.
2.
Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk
menentukan kesetimbangan kelarutan suatu obat
dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji
harus ditentukan pada 37 ± 1oC dalam media air dengan rentang pH
1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik
ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada di kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan
pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal
dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan dalam USP
dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok untuk alasan
fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH larutan harus
diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer.
3. Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan
langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada manusia atau tidak
langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran usus manusia.
Suatu obat dikatakan
sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia adalah 90% atau lebih
dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau
dibandingkan dengan dosis pembanding intravena
Agar suatu
obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut
(terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di
dalam banyak kasus, kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat
melarut dalam cairan pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting
step) dari proses absorbsi. Hal Ini benar/berlaku untuk obat yang diberikan
dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau suspensi, seperti
halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk granul
atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step,
maka kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan
disolusi dapat mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol
keseluruhan bioavailabilitas obat dari suatu sediaan.
Berdasarkan
biopharmaceutics classification system (BCS), maka kelarutan dan
permeabilitas suatu obat/new chemical entity (NCE) dapat
diklasifikasikan menjadi 4 kelas
Kelas I
|
Kelarutan tinggi – permeabilitas
tinggi
|
Kelas II
|
Kelarutan rendah – permeabilitas
tinggi
|
Kelas III
|
Kelarutan tinggi – permeabilitas
rendah
|
Kelas IV
|
Kelarutan rendah – permeabilitas
rendah
|
Sekarang
ini 40% obat/ new chemical entity (NCE) masuk dalam katagori kelas II
dan kelas IV. Obat-obat yang mempunyai kelarutan tinggi (mudah larut) maka rate-limiting
step bukan pada kecepatan disolusi (seperti pada kelas I dan III). Pada
kasus kelas II yaitu obat yang mempunyai kelarutan rendah-permabilitas tinggi
maka kecepatan absorbsi obat tersebut ditentukan/dibatasi oleh tahapan
kecepatan disolusi obat tersebut dalam cairan ditempat obat diabsorpsi. Hal ini
merupakan suatu tantangan bagi formulator untuk dapat mencari cara/teknik yang
tepat dalam rangka meningkatkan kelarutan senyawa obat tersebut. Dengan adanya
peningkatan kecepatan disolusi/kelarutan, diharapkan bioavailabilitas obat
tersebut juga meningkat.
Ada sejumlah teknik yang dapat
digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan dari suatu obat,
diantaranya:
1.
Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)
2.
Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)
3.
Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)
4.
Pembentukan komplek (Complexation)
5.
Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)
6.
Dispersi padat (Solid dispersions)
7.
Pengeringan semprot (Spray dryng)
8. Hot-melt
extrusion
Peningkatan
bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat
bermacam-macam teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat
harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat
aktif, stabilitas/shelf-life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan,
serta besarnya kelarutan yang diinginkankan
Mango Habanero Salsa | Las Vegas, NV - Mapyro
BalasHapusShop Mango 아산 출장샵 Habanero Salsa 영주 출장샵 at 시흥 출장안마 Mapyro. Find related and similar restaurants 광주 출장마사지 in Las Vegas, NV. 오산 출장안마